"Nona, ayo ke Bali
Pindah kesini
Ibumu saja sudah pernah bilang untuk pergi."
Pindah kesini
Ibumu saja sudah pernah bilang untuk pergi."
---
Email dari Tjok bertengger lama di inbox Leah.
"Mungkin ibu tiriku maksudmu, Tjok"
"Ibumu juga bukan?"
"Iyaa, ibu Miwa juga"
Percakapan singkat. Balas berbalas email. Dua sahabat lama yang kini mulai rajin lagi bertegur sapa.
Tjok, seniman Bali teman baik Leah saat kuliah organisasi kampus dulu menghubungi Leah. Biasanya komunikasi yang terjadi, tiap hari, kemudian dua tiga email dalam sepekan. Lalu berubah, sebulan sekali. Dua bulan sekali. Lalu, sekali dalam beberapa tahun. Tjok, teman karib kuliah yang kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung asalnya sebelum menyelesaikan studinya. Menemui bakat dan takdir dia yang sesungguhnya.
"Aku ganteng kayak Dewa Wisnu, kan?"
Candaan khas Tjok, tiap Leah mengajaknya diskusi panjang Lebar sewaktu di kampus dulu.
"Bali kangen aku, Le. Main lah kesana"
"Ga sanggup kantong mahasiswa gue, Cok"
Leah lebih sering manggil Tjok, dengan Cok seperti layaknya Ucok.
"Kau pasti suka Bali. Banyak yang bisa melukis seperti ibumu. Kau ada harapan lah sedikit, walau jarimu kecil-kecil"
"Sialan"
Lalu Tjok lebih banyak main dengan teman-teman di Fakultas Seni Rupa kampus sebelah daripada di fakultasnya sendiri, Sastra Inggris.
"Sastra membantuku merasa warna yang sudah pandai aku rasa"
"Perasaan kita kuliah Sastra yak bukan filsafat"
Perbincangan terakhir sebelum Tjok pamit ke Bali terburu-buru karena Bapak nya memanggil balik atas permintaan ibu Tjok yang sakit keras.
"Kuliah mu gimana, Cok?"
"Gak butuh uang juga aku tuh. Becanda, Le. Bapak minta aku urus cottage. Katanya kalau di Bali aku gak perlu kabur-kaburan lagi melukis"
Dialog dini hari di hari-hari terakhir Tjok di Depok di warkop kesukaan mereka di Jumat Malam setelah mereka menyelesaikan tugas kampus. Hujan diluar warkop saat Tjok bilang akan ke Bali, meramaikan bisu antara Leah dan Tjok.
Sudah 8 tahun yang lalu. Semester lima mereka saat itu.
Kini Leah memandang lukisan Pantai Kuta yang dibuat Tjok yang ia taruh rapih di meja belajar kamarnya.
Tjok memberinya lukisan sebelum akhirnya laki-laki teman baiknya itu pulang ke Bali.
"Senja"
"Hah?"
"Nama mu ada Senja nya kan ya? Kalau aku tidak salah ingat"
"Terus?"
"Ya biar kau ingat ada doa ibumu agar kau meleburkan siang yang panas dan malam yang dingin. Berada diantara konflik. "
"Maksud kau?"
"Jangan kamu ribut terus lah, demo terus"
Leah diam. Tampaknya pesan Tjok lebih dari sekedar kegemarannya berorasi di Senayan.
"Takut aku kau ditembak nanti"
"Aneh, kamu Tjok".
"Jaga diri ya. Meleburlah seperti Senja. Dan cari uang. Hampiri aku di Bali. Aku pasti habis ini kesepian. Temui aku ya, Le"
Lalu raut muka Tjok kala itu tak pernah dilihat Leah sebelumnya. Leah tak berani menebaknya, atau hanya takut menghadapi perasaan nya sendiri.
"Apa akan ada bedanya kalau kau kuhampiri lebih cepat, Tjok saat itu?"
Gumam Leah sambil memandangi Undangan Pernikahan Elektronik dengan nama Tjok disitu.
Email dari Tjok bertengger lama di inbox Leah.
"Mungkin ibu tiriku maksudmu, Tjok"
"Ibumu juga bukan?"
"Iyaa, ibu Miwa juga"
Percakapan singkat. Balas berbalas email. Dua sahabat lama yang kini mulai rajin lagi bertegur sapa.
Tjok, seniman Bali teman baik Leah saat kuliah organisasi kampus dulu menghubungi Leah. Biasanya komunikasi yang terjadi, tiap hari, kemudian dua tiga email dalam sepekan. Lalu berubah, sebulan sekali. Dua bulan sekali. Lalu, sekali dalam beberapa tahun. Tjok, teman karib kuliah yang kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung asalnya sebelum menyelesaikan studinya. Menemui bakat dan takdir dia yang sesungguhnya.
"Aku ganteng kayak Dewa Wisnu, kan?"
Candaan khas Tjok, tiap Leah mengajaknya diskusi panjang Lebar sewaktu di kampus dulu.
"Bali kangen aku, Le. Main lah kesana"
"Ga sanggup kantong mahasiswa gue, Cok"
Leah lebih sering manggil Tjok, dengan Cok seperti layaknya Ucok.
"Kau pasti suka Bali. Banyak yang bisa melukis seperti ibumu. Kau ada harapan lah sedikit, walau jarimu kecil-kecil"
"Sialan"
Lalu Tjok lebih banyak main dengan teman-teman di Fakultas Seni Rupa kampus sebelah daripada di fakultasnya sendiri, Sastra Inggris.
"Sastra membantuku merasa warna yang sudah pandai aku rasa"
"Perasaan kita kuliah Sastra yak bukan filsafat"
Perbincangan terakhir sebelum Tjok pamit ke Bali terburu-buru karena Bapak nya memanggil balik atas permintaan ibu Tjok yang sakit keras.
"Kuliah mu gimana, Cok?"
"Gak butuh uang juga aku tuh. Becanda, Le. Bapak minta aku urus cottage. Katanya kalau di Bali aku gak perlu kabur-kaburan lagi melukis"
Dialog dini hari di hari-hari terakhir Tjok di Depok di warkop kesukaan mereka di Jumat Malam setelah mereka menyelesaikan tugas kampus. Hujan diluar warkop saat Tjok bilang akan ke Bali, meramaikan bisu antara Leah dan Tjok.
Sudah 8 tahun yang lalu. Semester lima mereka saat itu.
Kini Leah memandang lukisan Pantai Kuta yang dibuat Tjok yang ia taruh rapih di meja belajar kamarnya.
Tjok memberinya lukisan sebelum akhirnya laki-laki teman baiknya itu pulang ke Bali.
"Senja"
"Hah?"
"Nama mu ada Senja nya kan ya? Kalau aku tidak salah ingat"
"Terus?"
"Ya biar kau ingat ada doa ibumu agar kau meleburkan siang yang panas dan malam yang dingin. Berada diantara konflik. "
"Maksud kau?"
"Jangan kamu ribut terus lah, demo terus"
Leah diam. Tampaknya pesan Tjok lebih dari sekedar kegemarannya berorasi di Senayan.
"Takut aku kau ditembak nanti"
"Aneh, kamu Tjok".
"Jaga diri ya. Meleburlah seperti Senja. Dan cari uang. Hampiri aku di Bali. Aku pasti habis ini kesepian. Temui aku ya, Le"
Lalu raut muka Tjok kala itu tak pernah dilihat Leah sebelumnya. Leah tak berani menebaknya, atau hanya takut menghadapi perasaan nya sendiri.
"Apa akan ada bedanya kalau kau kuhampiri lebih cepat, Tjok saat itu?"
Gumam Leah sambil memandangi Undangan Pernikahan Elektronik dengan nama Tjok disitu.
"Sepertinya tidak"
Leah menyeruput teh tarik dingin disamping laptopnya sambil kemudian mengetik balasan email Tjok.
"Beliin gue tiket, baru gue dateng"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar