Tampilkan postingan dengan label Leah&Rayan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Leah&Rayan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 01 November 2018

[Leah dan Rayyan] Soto dua tahun





Aku melihat kacamata-kacamata itu.
Berjejer rapih di rak optik. Kaca-kaca bening, dilap tiap hari agar selalu mengkilat dan bersinar.
Ku melihat mu, disetelan rapih yang tak pernah kutahu kau menyukai nya.
Katamu setelan itu harus kenalan dengan soto lamongan kesukaanmu yang sudah 2 tahun tak kau temui. Padahal asalmu Jogja, harusnya kau suka gudeg.
-----------------
Leah menemani Rayyan berkunjung ke mall besar dekat kawasan SCBD itu dengan pakaian seadanya. Sesederhana tempat soto yang terpikir Leah.
"Kata lu mau makan soto, gue udah buru-buru dari kosan nih"
"Ya abis ini Le, temenin gue ambil kacamata lah. Ntar gue traktir cilok deh" jawab Rayyan sambil mengecek pesanan kacamatanya yang baru diambil.
"Nongkrong SCBD, mau nraktir cilok, kaum proletar gue aja mah bisa beli cilok"
"Ya, Allah ngomel mulu, yaudah yuk makan"
----------
Jakarta tempat mu kembali lagi diantara diskusi soto dan es teh manis sederhana.
Waktu yang kita rayakan bersama dengan sederhana.
Sesederhana aku yang sekarang tapi bukan kamu. Penggangguran dan Pelukis sekaligus Pemilik Galeri yang sekarang entah apalagi kerjamu yang memakai setelan rapih yang bukan cirimu.

Aku dengan celana tidurku dan rasa kangenku bercerita dengan sahabat baik ku yang kini datang lagi, Rayyan.

Jumat, 29 Juni 2018

[Leah dan Rayyan] Bab. Leah dan Miwa; Kucing Bersama


[Leah dan Rayyan] Bab. Leah dan Miwa; Kucing Bersama




Pernah kau mencintai begitu keras hingga tiap memikirkan wajahnya kau hanya bisa menangis saja?
Karena kau sadari dengan jelas sudah berapa jauh jarak yang tercipta diantara kalian.
Diantara kasih sayangnya sudah banyak yang lainnya yang juga menyayanginya.


-----
Hari ini Miwa genap 2 tahun, adik tiriku yang kusayang, bersama pria yang selalu kusayang.
-------
"Le, lu ga masuk?"
Delisa menegur gadis yang terdiam didepan kafe kucing di bilangan Kemang itu.
Leah menggenggam kantong besar berisi boneka kucing beraneka macam, tas bentuk kucing, jepit bentuk kucing.
"Miwa suka banget kucing kayak gue Del! Lucu bangeeeet yaa!" kata Leah dua hari sebelumnya sambil memilih kado buat adik tirinya. Leah memilih satu-satu pernak-pernik kucing yang ia temui di salah satu toko kecil didekat kantornya. Toko yang sudah ia hapal tiap sisinya, kini ia bagi apa yang ia suka ke gadis cilik kesukaannya.

Kafe kucing usulan Leah ke ayahnya saat tahu akan ada pesta ulang tahun untuk Miwa. Leah ingin Miwa senang. Dia ingin liat ayahnya senang.

"Oh, iya yuk Del, masuk"

Trrrrrrt, ponsel keluaran China milik Leah berbunyi.

Rayyan

Gue di Jakarta, Le
Makan soto, yuk!


.
.
.
.
.
Cek Label untuk Cerita Leah Dan Rayyan





Jumat, 16 Januari 2015

Leah & Rayan : Percakapan 5 Bulan

Aku tidak tahu apakah ada perbedaan antara adanya aku dan tidak adanya aku
Apakah sebenarnya kamu mau tahu atau sebenarnya memang tidak pernah tahu.
Ada jarak diantara pertanyaan dan jawaban jawaban yang menjadi pasangannya.
Dan diantaranya ada Kamu.






Jogjakarta
Sudah mau 5 bulan Rayan di Jogjakarta, rumah baru untuk galeri dan bakatnya. Tapi tidak dengan hatinya. Ada sore dengan Soto Lamongan dan Es teh manis yang hilang dari kesehariannya. Ada telepon telepon singkat yang hilang dari rutinitasnya, dan ada pertemuan di jam 5 seperempat yang hilang dari agendanya tiap minggu.

“Leah lagi ngapain yak?”

Jakarta
“Leah, design campaign perusahan Bu Mieske udah belum ya? Gue ditanyain si Toni nih”
Leah yang belum lama tertidur didepan komputernya terbangun.
“Oh, iya Sel, udah kok tapi emang belum gue kirim ke email lu. Bentar yak!” sigap Leah menjawab sambil sesekali berusaha membelalakkan mata. Baru saja 5 bulan pindah kostan membuat dia harus mengatur lagi jam berangkat ke kantor. Leah yang terbiasa rutin dalam mengerjakan pekerjaan belakangan menjadi lebih berantakan karena harus menyesuaikan dengan lingkungan baru rumah kostnya.
“Le, tolongin gue dong! Sumpah deh susah banget sama Ibu yang satu ini Le. ”
Toni yang pagi itu langsung merocos soal klien ke Leah. Leah yang baru saja didatangi Sela, dan digelayuti rasa kantuk yang luar biasa hanya bisa mendengarkan.
“Bu Titik kan suka ngobrol ngalor ngidul, tapi ya soal lukisan. Sampe kerjaan gue gak selesai kalo meeting sama dia. Tolonglah, Le!”
“Sebentar… kenapa gue, Ton? Maksud gue, banyak kan anak kantor kita. Kenapa gue? Kerjaan gue masih banyak, Ton. Yang lain gimana?” Ucap Leah sambil menengok ke sekeliling.
Toni terlihat menghela napasnya. Dan sekali lagi melihat Leah.
“Oh, please, jangan kasih gue tatapan begitu, Ton hahahaha” Leah tertawa setelah Toni melihatnya sambil memelas.
“Hahahah Bu Titik itu maunya sama yang ngerti lukisan, Le.. Terakhir gue meeting sama dia. Dia cuma ngomongin lukisan aja. You know I know nothing about painting
Me either.”
“Lah kan sahabat lu pelukis, Le. tau lah dikit-dikit lukisan. Beside lu pernah bantuin dia pameran. Ya kan?”
“Iya sih,……oh…one condition!
“apa tuh?”
“Gue kan bantuin kerjaan lu nih, Ton dengan meeting sama Bu Titik, lu bantuin kerjaan gue juga yak”
“Yaudah, deh.”

Maka, siang hari di hari yang sama Leah pergi mengunjungi Bu Titik di rumahnya dibilangan Menteng, Jakarta Selatan.  Ibu yang berusia sekitar 60 Tahun itu adalah Pimpinan Redaksi suatu Majalah Wanita Dewasa. Kantor Leah menangani grand launching acara pemilihan model yang diselenggrakan oleh majalah tersebut. Leah yang susah payah melawan rasa kantuknya sesekali meneguk kopi instan yang ia taruh di botol minumnya berjalan menuju rumah besar di bilangan Menteng, Jakarta Selatan.
“Bagus banget yaa rumahnya”
Setelah sekitar setengah jam menunggu, Bu Titik akhirnya keluar dan menemui Leah.
“Sudah lama ya menunggu? Saya tadi rapat dulu dengan asisten saya dari kantor. Kamu dari kantornya Pak Satria ya?”
“Iya, Bu saya dari Kantornya Pak Satria. Perkenalkan saya Leah”
“Biasanya yang kesini mas-mas itu, si Toni ya”
“Oh, iya bu saya menggantikan Toni untuk meeting hari ini”
Kemudian pertemuan berlanjut membahas urusan bisnis diantara siang yang berganti sore ditemani pohon kamboja dan bunga-bunga lavender yang terlihat dari jendela.
“Saya perhatikan banyak lukisan bagus ya Bu dirumah ibu. Gayanya mirip karya Affandi”
“wah, kamu tau lukisan ya? Ini buatan anak saya, dia pengagum Affandi, jadi wajar karyanya mirip dengan Affandi”
“wah, keren bu! Anak ibu usia berapa bu?”
“Mungkin dia sudah seusia kamu, Leah, ya nambah dikitlah, kayaknya tuaan dia”.
“Oooo gitu ya, anak ibu tinggal bareng ibu ?”
“Dia sudah meninggal, Leah”
“Oh, maaf Bu”
Seketika Leah teringat seseorang yang sudah lama meninggalkan Jakarta mencari rumah baru untuk lukisan-lukisannya. Dan sudah 5 bulan Leah tidak dengar kabar darinya.
“Si Rayan gimana ya galerinya?”

Jogjakarta
“Maaf Pak Rayan untuk pameran minggu depan saya boleh minta daftar tamunya?”




Selasa, 14 Januari 2014

Arti lain









Arti Lain

Seminggu lagi di kalender menunjukkan waktu Rayan akan pergi ke Jogja. Katanya untuk rumah baru bagi lukisan-lukisannya. Leah membantu membereskan beberapa kanvas kosong yang berserakan diruang studio Rayan. Hari saat itu tengah asik meramaikan langit dengan orkestra hujannya.

"Lu bagian kanvas kosong ya, Le. Anak-anak gue biar sama Bapaknya aja"
"Sinting, lukisan dibilang anak." kata Leah bergumam
"Kedengeran Le!"
"Nguping!"

Leah sendiri sebelum diminta Rayan untuk tidak menyentuh lukisan-lukisannya, sudah tidak berani menyentuh kanvas-kanvas berisi goresan kuas Rayan.
Terlebih kanvas-kanvas berisi lukisan tentang Ibunya. Lukisan-lukisan yang dibuat setelah ibu Rayan meninggal. 

Seorang psikolog kenalan Leah menganjurkan Rayan untuk terapi dengan melukis setelah tahu kondisi psikis Rayan. Melukis tentang ibunya untuk membantu pemulihan psikis Rayan yang ditinggal ibunya.

Terapi untuk pelarian atas laranya itu kini yang menghidupi jiwanya.
Melukis untuk Rayan seperti kekasih lama yang tetap menjadi favorit.

Rayan yang kuliah di jurusan Politik justru lebih gemar melahap segala workshop melukis dibanding dengan seminar politik. Ketika ibunya meninggal Rayan berhenti melukis dan kembali melukis setelah mendapat nasihat dari psikolog yang merawatnya. Lara yang sebegitu besar mengalahkan cinta Rayan yang lain.

“Le, lu gapapa gue tinggal?”
“Kenapa mesti kenapa-kenapa?”
“Mmmm iya sih ya”
“Gausah sentimental yaaak, lu kan ke Jogja, sebentar kan? ntar pulang lagi kan?”
“Iya”

_________________________________________________


Duka hanya ide menarik untuk merusak suasana 
merusak keceriaan diantara semburat tawa dan gula gula kapas yang dibagi bersama.

Semburat pilu yang tak perlu tentang egoisme perasaan yang dibuat buat sendiri.
Buat apa?



Selasa, 03 Desember 2013

Rekaman Bincang Masa Lalu



Perbincangan mengenai masa lalu.
Kebiasaan yang tak lama dilakukan, mengobrol mengenai apapun sambil ditemani segelas minuman, entah teh manis, es teh manis ataupun jus.
Gelas setinggi 15 cm menjadi saksi bisu atau berbicara dengan bahasa nya sendiri, merekam tiap perbincangan yang ada.
Menyimpan komposisi minuman kesukaan teman perbicangan
Teh Hangat dengan hangat suam-suam kuku.
Teh panas yang mendidih
Es Teh Manis dengan 1 balok es besar.
Atau segelas air putih.
Mereka juga pasti hapal bagaimana mereka dipegang selama perbicangan.
Dipegang dibibir gelas
Dipegang di kuping gelas.
Seberapa kecil perlakuan pasti mereka ingat.
Lalu, obrolan bergerak mulai dari kepenatan jadwal hidup yang dibuat dengan kesadaran sendiri

atau sekedar mengeluh tentang hujan yang tidak kunjung berhenti.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Leah lelah sekali setelah seharian berhadapan dengan layar kotak selama lebih dari 8 jam.
Mengamati desain untuk ilustrasi yang dipesan kliennya.
Jam sudah mulai menunjukkan pukul 20.00 WIB
Kantornya dibilangan Sudirman tidak menunjukkan sedikit pun gurat menyerah atas malam yang kian larut.

"Halo seniman kita, gimana kerjaan lu udah beres? Makan yuk!" suara Leah didalam telepon.
Menghubungi sahabat karibnya semasa kuliah itu untuk bertemu selalu menjadi obat penghilang lelah.
Setelah tujuh hari sibuk dengan mimpi masing masing, dan hari kedelapan waktu untuk rutinitas yang sudah disepakati. Tempat yang sama dan menu yang sama.


"Gimana Jakarta, Le?" Tanya Rayan setelah sampai di warung langganan mereka.
"Tetap sombong dan sok sibuk. Jogja gimana?"
"Totally awesome! Lukisan gue dapet galeri yang bagus dan cantik. Secantik yang punya"
"Hissssh, dasar laki! Eh, Bu Es Teh Manis satu yaa!"
"Dua deh Bu, saya mau juga"
"Kerja gak gerak depan komputer minumnya es teh terus Le, gue gak heran kalo lu ntar kena diabet"
"yeeee, jangan gitu dong ngomongnya. Ayo, ceritain soal lukisanmu"

Dua gelas es teh manis dan dua porsi Soto Lamongan.
Menu yang sama selama lebih dari 5 tahun. Di tempat yang sama. Merekam pembicaraan pertama saat keduanya tak sengaja bertemu untuk makan malam seusai kuliah. Soal perkenalanyang baru saja terjadi, atau kini pembicaraan terakhir sebelum keduanya sibuk lagi dengan dunianya, pembicaraan soal mimpi masing-masing. Dan, kini menjadi dalih untuk bertatap muka sekedar membicarakan hal remeh di hari-hari sebelumnya.

"Habis ini gue pindah ke Jogja, Le. I will stay there for months, maybe. Jadi, ga balik ke Jakarta dulu"
"Hah, ngapain?"
"Jogja rumah yang nyaman bagi gue dan lukisan-lukisan gue. Mau coba tinggal disana."
"Hooh. Oke!"

ada tegukan tertahan disela perbincangan yang tidak diduga. Mewakili kalimat yang tidak disampaikan atau maksud sebenarnya yang tidak terucap.

Lalu, kemudian menu berubah.
Satu gelas es teh manis dan satu porsi soto Lamongan.


Gelas isi teh manis hangat di suatu pagi di Bogor
 (dokumentasi milik pribadi)

Jumat, 22 November 2013

Remahan 30 menit

Ada hal yang tersisa di tiap penggalan kata yang dibiarkan ditahan dan kemudian diselesaikan dengan saling berpandangan.
Apa yang mau dibicarakan tertahan antara rasa ingin tahu tentang jawaban soal pertanyaan yang ada tiap pagi saat matahari jam 6 pagi.
Tentang jalan kecil yang dilewati hanya untuk mengingatkan bahwa disana tempat persinggahan obrolan soal hobi, teman sepermainan atau sekedar makanan yang tidak enak.
Atau mungkin sapaan durasi 10 detik.
Atau tentang tatapan yang tidak berujung sapaan.
Atau tentang curi curi pandang ke pundak yang berjalan ke arah yang berlawanan.
Dan disetiap remahan 30 menit penuh harap soal sapaan lebih daei 10 detik,
tentang tatapan yang berujung sapaan, atau tatap muka dengan saling berhadapan.
------------
Rayan sekali lagi memandangi Leah yang berjalan terburu buru dengan ransel terbuka dan semua buku yang dibawanya dapat terlihat dengan jelas. Buku khas anak komunikasi.
Rayan tahu sekitar jam setengah delapan Leah selalu melewati kantin untuk membeli susu kotak coklat. Lalu, roti sandwich harga 3.500 dengan selai blueberry. Sesederhana itu pemandangan pagi setengah delapan yang selalu membuatnya mood seharian.
Lalu, setelah itu akan ada dua minggu mereka tidak pernah bertemu. Bertemu, sebuah kata aktif yang untuk kasus Rayan menjadi pasif. Karena Rayan lah yang bertemu. Leah tidak tahu kalo bertemu Rayan
"Hay, Rayan~~!" seru Leah melambaikan tangan dan senyum cerianya.
"Hay, Leah. Kuliah pagi ya?" tanya Rayan.
"Iyaa, nih duluan yaa" jawab Leah dan kemudian bergegas pergi ke gedung prodi Komunikasi.
"wah, jadi 10 detik pas gue ngomong ke dia"
Dan, pertemuan pasif itu akhirnya berakhir bulan lalu. Saat keduanya saling mengetahui bahwa mereka satu sekolah saat SMA. Dan, akhirnya berkenalan.
Buat Rayan, akhirnya tatapan berubah menjadi sapaan 10 detik.
"ini saja sudah cukup, Leah"