Minggu, 29 Juli 2018

Bapak, Affandi dan Aku


Bapak, Affandi dan Aku





Bapak orang Sumatera yang cinta Jawa. Entah bagaimana sampai menikahi gadis jawa yang pintar masak rawon. Mungkin karena sebegitu cinta dengan si gadis atau rawonnya. Dua-duanya tak ada salahnya. Bapak pernah cerita, kenangannya ke Jawa, studi wisata SMP Pertamina ke Jogja yang jaraknya sudah terlalu lama itu membekas di ingatan remaja bumi Sriwijaya itu. Anak laki-laki yang gemar menggambar selain bermain sepak bola, terpesona dengan keramah-tamahan orang-orang Jawa, terlebih Affandi. Bapak cerita ia pergi ke museum Affandi sewaktu ia ke Jogja, lalu setelah itu tak pernah lagi ada kesempatan Bapak menemui Affandi di lukisan-lukisan di Jogja. Jarak Jawa- Sumatra saat itu sulit dijangkau. Mungkin menikahi gadis Jawa membuat jaraknya mengecil. Lalu, ada prempuan Jawa kenes yang menarik hatinya.
Tapi, itu tampaknya imajinasiku  saja.
Mungkin memang sudah jalannya Bapak berjodoh dengan Jawa. Juga dengan Bu'e. Laki-laki nekat menjalin hubungan jarak jauh dengan gadis tetangga kos kakaknya di Jakarta itu.
Lalu Affandi bagaimana?
Memiliki anak prempuan keras kepala, yang dididik untuk menjadi dokter, ternyata lebih gemar berimajinasi dan menggambar, walau nilai raport nya cemerlang. Kertas dan warna menarik hatinya lebih kuat, lebih membuat binar matanya lebih terang.
Pria Bumi Sriwijaya itu kemudian menyebut-nyebut Affandi sekali waktu saat anak prempuan nya sibuk memulai goresan kuas-kuas pertamanya.
Menceritakan bagaimana bagusnya lukisan Affandi dan bagaimana Affandi di Jogja.
Bagaimana harusnya anak prempuannya lebih berani menggores dan mencampur warna. Tanpa ia sadari ia sedang membentuk anak yang kemudian senang akan seni rupa bukan seorang dokter. Tapi, mana saja ada kebaikannya bukan?
Semenjak itu, aku penasaran dengan Affandi. Kenapa Bapak suka sekali Affandi? Dimana Affandi? Bagaimana lukisannya?
Saat SMA secara beruntung menemukan film dokumenter bagaimana Affandi mengurung diri di gubuk dekat pantai dan melukis. Langsung dari tube-tube. Warna-warna yang tak segan menari di kanvas. Tak perlu semua orang tau bentuk apa yang sedang dibuat. Mungkin seperti lirik lagu, hanya si Penulis yang tau.
Siang ini, ku sempatkan meluangkan, oh tidak-tidak. Aku memang sengaja kali ini datang menemui Affandi, yang Bapak selalu ceritakan. Yang tiap tahun sekalipun aku selalu ke Jogja tak pernah ku punya kesempatan.
Lalu, dengan percaya diri, hari Minggu dari Sastrodipuran lalu makan sebentar di jl.Bhayangkara aku pergi ke Museum Affandi. Dengan sebegitu banyak kesenangan yang kutabung karena akan melihat lukisan, terlebih Affandi.
Lalu hadirlah aku disana, entah aku berlebihan atau tidak, ada haru sedikit memenuhi rongga dada dan mataku.  Aku terlalu suka berbagai hal soal seni rupa terlebih lukisan. Lalu, Affandi hadir ditengah dialog kaku yang lebih sering terjadi antara aku dan Bapak.
"Mau ke museum? Hari libur dan hari minggu kami tutup, mbak"
Yak, bagus agak potek-potek hatiku tapi tetap bahagia, karena sudah bisa mengurangi jarak ku dengan Affandi.
Memutuskan untuk mengheningkan cipta dengan mengelilingi halaman museum dan membaca memorabilia yang ada diluar, ternyata tetap menggembirakan jiwa yang haus seni ini.
Di salah satu sudut halaman museum, ada sepasang kekasih yang beristirahat dengan tenang berdua. Saat mereka hidup mereka membagi dan menemani dengan melukis, lalu memutuskan untuk dikubur berdampingan. Tak hanya disamping belahan jiwanya. Tapi, ditemani karya-karyanya.
Maryati dan Affandi.
"Tiap taufan menyerang
Kau di sampingku
Kau aman ada bersamaku
Selamanya
Sampai kita tua
Sampai jadi debu
Ku di liang yang satu
Ku di sebelahmu"
Hubungan romantis yang ku iri melihat nya, terlarut dalam satu sama lain dan dalam hal-hal yang mereka sukai.
Dalam tenang dan damai, Pak Affandi dan Bu Mar.
"Apalagi yang bisa kuajarkan pada Maryati? Sejatinya menjadi pelukis menjadi anak-anak. Dia sudah melukis seperti anak-anak"
❤️
"Doakan aku berjodoh lagi dengan Affandi dan Maryati. " Tulisku di pesan singkat ke temanku sore itu. Sambil meminta brosur museum yang kuambil di loket, aku putuskan pamit dan mencari peluang lagi untuk kembali tak hanya Jogja tapi untuk melihat Affandi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar