Jakarta belakangan ini sendu sekali. Pagi-pagi semenjak malam sudah hujan pelan-pelan, belaian basah disetiap jendela atau tanaman di pinggiran rumah. Becek-becek yang kini mulai dimaklumi karena toh sebagian besar orang dirumah juga. Tidak perlu jadi halangan yang berarti, genangan air, tanah yg becek, tidak akan ada kekesalan karena sudah terlanjur memakai sepatu putih di hari yang begitu sendu penuh dengan air mata semesta ini.
Di jalanan pun kini dipenuhi dengan kepasrahan karena tidak ada pilihan.
Dirumah tidak bisa makan.
Diluar rumah harus siap kehujanan maupun kepanasan.
Jakarta belakangan ini sendu sekali. Seolah runtuh semua keangkuhan yang berpuluh-puluh tahun menjadi pakaian yang dikenal.
Jalan layang, gedung yang tinggi yang dulu membuatnya dikenal, sekarang mental.
Mental oleh pilihan-pilihan waras dan atau dipaksakan untuk menjaga jarak dan tetap dirumah.
Jakarta belakangan sendu sekali.
Seolah menemani yang pagi-pagi sekali harus keluar rumah. Karena baginya perlu diluar untuk tetap ada yang disebut rumah
Jakarta belakangan sendu sekali.
Aku dengan kaus kaki basah, didalam bus yang basah karena hujan dan supir yang basah karena gelisah.
Jakarta belakangan sendu sekali.
Aku sekali lagi dengan kerudung yang basah, menerima hari ini dengan pasrah dan gelisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar