Waktu kelas 2 SMP sepulangnya saya dari Perpustakaan Daerah, guru Bahasa Indonesia saya waktu itu bercerita banyak soal niat baca murid seumuran saya saat itu. Kemudian, diikuti beberapa wejangan mengenai bagaimana pentingnya membaca, guru saya juga menyelipkan beberapa pesan untuk juga membaca sastra Indonesia.
Saya yang hobi baca komik ini, tidak tahu apa maksud guru saya dengan Sastra Indonesia. Walau ibu saya dirumah sering membawakan koran. Tapi, kata Sastra Indonesia sangat asing.
Lalu, beliau menyebutkan beberapa sastrawan Indonesia. Cuma beberapa yang saya tahu, itupun dari buku teks Pelajaran Bahasa Indonesia. Saya lebih tertarik menyoal soal puisi daripada karangan panjang tanpa gambar. Selain, Lima Sekawan dari Enid Blyton yang selalu membuat kecanduan.
"Di Malaysia, buku Pramoedya yang Gadis Pantai jadi bacaan wajib lho! Pramoedya itu penulis Indonesia"
Wah, sekeren itu berarti ya. Dan kemudian hari-hari saya membaca Pram.
Hari Kamis saat tanggal merah dan rumah sepi pada pergi, saya memutuskan menghampiri Pameran #NAMAKUPRAM di bilangan Kemang tepatnya di Dia.Lo.Gue Art Space di Jl.Kemang Selatan 99a, Jakarta Selatan.
Saya tadinya punya ekspektasi akan banyak melihat Pram yang dilihat dari karya-karya sastra yang ia terbitkan dan beberapa konflik politik yang terjadi kaitannya dengan tulisan-tulisannya.
Pameran #NAMAKUPRAM seperti judul pamerannya seperti mengenalkan Pram utuh sebagai manusia bukan hanya dari sisi penulis nya saja.
Di Pameran justru banyak melihat sisi lain Pram, yaitu sebagai seorang Ayah yang menyayangi anak-anaknya.
Terlihat dalam dialog Pram dengan anak-anaknya lewat surat menyurat saat Pram ada di Pulau Buru. Menurut saya, bagian pameran yang paling menarik adalah display surat-surat tangan asli antara Pram dan anak-anaknya. Romantisme yang begitu indah dan sederhana ditampilkan lewat perbincangan soal keseharian Rita, Titi dan saudara-saudara lainnya. Perbincangan tentang Yudi yang bandel atau kecelakaan yang dialami anak-anaknya. Di salah satu buku yang mengulas wawancara dengan Pram, yaitu Buku "Saya Terbakar Amarah Sendirian" diketahui Pram cukup keras dalam mendidik anak-anaknya. Di buku tersebut juga ditulis Pram membiasakan anak-anaknya untuk menulis buku harian setiap harinya dan mencatat kegiatan mereka.
Display surat antara Pram dan anak-anaknya cukup baik menyampaikan pesan kesederhanaan hubungan mereka dalam kerinduan yang mendalam. Bayangkan surat Pram bisa baru sampai setahun berikutnya atau jauh beberapa bulan berikutnya. Ditampilkan dengan menampilkan surat asli tulisan tangan dengan keterangan tahun dan nama anak Pram yang membalas surat di kaca. Karena cukup menarik antrian di display surat ini alurnya cukup lambat dan jarak antara display surat ke display lainnya terlalu dekat. Karena didekatnya ada display barang asli Pram saat masih di Pulau Buru.
Di sisi lainnya ruang pameran, garis waktu hidup Pram juga menjadi display yang banyak menarik pengunjung pameran. Garis waktu dari Pram lahir hingga beliau wafat di 2006 dijadikan display yang menempel di dinding beserta beberapa keterangan. Yang menarik menurut saya, keterangannya cukup lengkap, ringkas dan informatif, dilengkapi keterangan karya Pram yang lahir pada garis waktu tersebut, apa itu artikel ataupun buku.
Di ruang pameran lain, secara eksklusif di pamerkan beberapa foto kunjungan Pram ke beberapa negara untuk menerima penghargaan menulis. Di beberapa barang pameran dihampirkan juga medali serta beberapa kartu nama yang Pram pakai. Barang Pameran juga meliputi beberapa hasil ketikan Pram di yang kemudian dijadikan kertas untuk mencetak buku-buku Geografi.
Disebelah ruang pameran, terdapat juga beberapa apresiasi Pram lewat karya sketsa yang dipajang di dinding. Dan yang menjadi bintangnya karena beberapa postingan di sosial media banyak sekali yang tertarik dengan "ruang" pameran yang satu ini adalah Taman Kata, beberapa kutipan dari buku-buku yang ditulis Pram dicetak dalam seukuran spanduk dan dipanjang secara vertikal. Menyihir dengan caranya sendiri selain dengan meminjam kata-kata yang Pram buat. Penulis Sastra dari Indonesia yang berhasil masuk ke Nominasi Nobel Sastra tiap tahunnya hingga 2006 ia berpulang. Sebulan sebelum ia berulang tahun.
Di beberapa keterangan disampaikan, di masa tuanya Pram bercerita ingin mengurus anak dan cucunya saja.
Di harian Kompas 2006, Pram memiliki hobi mengkliping, katanya agar ingatan terus ada.
"Mengkliping adalah cara mengabadikan peristiwa"
Melihat Pram di Pameran #NamakuPram membuat saya merindukan nya. Saya hanya mengenal Pram dalam sosoknya sebagai seorang penulis. Lewat Pameran ini saya mengenalnya sebagai sosok yang tahu dengan apa ia merubah dunia, dan tidak hanya berdiam diri, tapi setengah mati dan melakukan apa pun resikonya, dan ia melakukan nya dengan hal yang ia sukai.
Pameran #NamakuPram diperpanjang sampai tanggal 3 Juni 2018, yuk kesana!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar