"Mau, Pa!"
Tiap adik-adik laki-laki saya rambutnya sudah harus dirapihkan, ayah saya akan selalu mengajak saya untuk ikut serta ke stasiun menemani adik-adik untuk potong rambut. Kegiatan rutin saat saya berusia lima tahun yang kata ibu saya, saya selalu senang kalo diajak.
Om Jaka, nama tukang potong rambut yang biasanya dipercayakan ayah saya untuk memotong rambut adik-adik.
Sebagai anak prempuan, pemandangan anak laki-laki dipotong rambutnya dengan mesin cukur selalu menarik. Karena mirip dengan rumput yang sedang dipangkas. Suara mesin pencukurnya pun mirip.
Kios Om Jaka berada di dalam stasiun Tebet. Disamping warteg yang menjajakan indomie. Dari warung itulah kemudian saya mengenal istilah "internet" yang berarti indomie telor kornet.
Dulu, saya setengah mati ingin merasakan "internet" itu rasanya seperti apa. Tapi, ayah saya selalu bilang,
"nanti saja bikin dirumah ya"
Ketika sudah besar begini, saya mengerti maksud ayah supaya saya terhindar dari makanan yang kurang bersih.
Sambil menunggu adik-adik yang dipotong rambutnya. Ayah mengajak berkeliling stasiun melihat-lihat barang-barang yang dijajakan. Dari alat pertukangan sampai mainan untuk anak seusia saya saat itu.
Dulu kami juga sekaligus menunggui ibu saya yang pulang kerja dengan kereta. Biasanya ibu langsung menghampiri kami dan ikut menunggui adik-adik yang sedang dicukur rambutnya. Ketika pulang didalam mobil percakapan akan berisi cerita saya dan adik-adik soal mainan yang ditemui distasiun, dan ayah dan ibu yang berkomentar soal potongan rambut adik.
Diusia yang kemudian cukup besar, stasiun menyimpan cerita soal percakapan dengan teman, lelucon soal penumpang lain, atau cerita soal sepiring siomay yang dihabiskan berdua di kala senja.
Saat melanjutkan kuliah di kota lain yang mengharuskan saya pulang-pergi naik kereta itu pada awalnya berat. Capai sekali rasanya waktu awal membiasakan diri harus naik kereta tiap hari.
Kemudian, saya berpikir untuk menganggap ini seperti rekreasi atau pergi liburan. Karena naik kereta dekat dengan suasana berlibur dan rekreasi buat saya, sehingga akan lebih terasa menyenangkan dan merigankan rasa capai saya.
Stasiun jadi tempat yang tiap hari pasti saya kunjungi, saya sampai hapal dengan suasananya pedagang apa saja yang ada distasiun.
Di stasiun Pochin tempat saya menunggu kereta pulang, sering ada pengamen bersuara bagus yang menyanyikan lagu tempo doeloe dengan cukup baik. Sebelum ada penggusuran pedagang, para pengamen biasanya menghibur para penumpang yang sedang menugggu kereta di peron stasiun, bernyanyi didepan para penumpang, kadang saya melihat peron stasiun sudah menjadi panggung mereka sendiri.
Kereta yang penuh sesak saat sore (Dokumentasi milik pribadi) |
Awan mendung di stasiun (dokumentasi pribadi) |
Sketsa saat menunggu kereta |
Sketsa saat menunggu kereta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar