Jumat, 25 Oktober 2019

[REVIEW BUKU] Menjala Kunang-kunang

MENJALA KUNANG-KUNANG
Penulis Ibe S.Palogai
Review Oleh Marissa Ika


“aku mencintaimu seperti api yang mencurigai asap, sebagai mula nyala sebatang kayu yang tak mengenali hutan tempat segala lebat menciptakan rahasia”


Lalu kemudian di halaman lainnya,
“aku hanya api yang belajar membakar diri sendiri, hingga akhirnya sadar, yang terbaik dari hidupku adalah abu tanpa nama akhir”
Kali pertama saya berkenalan dengan tulisan Ibe S.Palogai, tidak mau SKSD, maka saya memilih untuk menuliskan nama lengkapnya di tiap kali menulis ulasan tentang cara kami berkenalan lewat puisi-puisi dalam “Menjala Kunang-Kunang”.







Yang menarik dari puisi yang ada di “Menjala Kunang-Kunang” adalah keterhubungannya dengan momen-momen yang mungkin saja akrab dengan saya atau kamu. Dialog dengan diri sendiri. Didalam banyak puisi yang muncul di “Menjala Kunang-Kunang”  kebanyakan memiliki bentuk dialog dengan diri sendiri yang menceritakan tentang siapapun dia yang sedang diramu sekali makna kehadirannya dan kepentingannya dalam rasa.

Ada keterputus-asaan yang besar atau kepasrahan yang merana yang saya rasakan di beberapa puisi yang ada.

“aku kembali memberikan diriku jatuh dalam tangkapan jalamu
Tetapi hanya kasta kunang-kunang yang kau lerai
Lalu mengibarkannya setelah derasnya berkelip”


Dan pengakuan atas cinta yang mungkin kemudian baru disadari bentuknya. Entah karena ketergesaan mengenal atau sedemikian larut terhadap biaya laten terpukaunya puan dan tuan maupun sebaliknya. Dalam “Menjala Kunang-Kunang”  saya diajak kembali memberikan waktu sebentar untuk akrab lagi dengan perasaan mencintai tapi jauh dari beberapa puisi tidak berjudul dalam buku Ibe S.Palogai. Seperti saat saya dan mungkin juga kamu juga sendirian dalam pikiran-pikiran sendiri di beberapa saat dalam malam atau siang, ada saja yang kemudian yang merasuk memikirkan banyak hal salah satunya perasaan, karena cicilan rumah dan tagihan air tidak menarik dan sudah mengambil ruang yang banyak di pikiran, jadi tak perlulah dipikirkan lagi.


“aku mencintaimu seperti mata pancing yang keliru
mengait ikan pendendam dari sungai dan kini liar di akuarium
sebagai pandang keruh kesepian jiwa kita” 


Menjala kunang-kunang bagi saya menyadarkan bahwa cinta dan mencintai dalam kekosongan dapat membuat gambaran fana yang adiktif tentang nikmatnya dicintai, tanpa sepenuhnya sadar sedang larut dalam bahaya laten komitmen pada sesuatu yang tidak pasti. Tapi, mungkin itu nikmatnya, berada dalam ketidakpastian dan sepenuhnya berada dalam candu masa kini pelan-pelan. Seperti kunang-kunang pada malam terang saat malam, lalu menjerat para pencarinya untuk menyimpannya dalam toples hanya untuk menemukan cahaya tak lagi terang saat sang surya muncul.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar