Leah dan Delisa
Aku selalu menerka apa yang membuat sahabat ku ini begitu manis. Baru 5 tahun aku mengenalnya karena kami bekerja di tempat kerja yang sama. Dia sangat menyenangkan begitu polos dan periang. Setidaknya sampai dua tahun yang lalu. Kemudian, ia lebih banyak gelisah dan bermata sembab. Kadang bengkak karena terlalu lama menangis. Kadang aku temukan lebam biru di kiri atas pipinya. Dan tepat setahun yang lalu kuhentikan pria yang membuat sahabat luka di fisik dan pikirannya itu.
Delisa, sore ini bercerita padaku ketakutannya pada hubungan yang baru. Tentang pria baik yang dengan sabar mendekatinya. Bahkan jauh sebelum apa-apa yang menimpa
"Le, aku takut"
"Tapi, dia kan bukan Dimas, Del. And he is so nice" Leah menanggapi sambil memgang tangan sahabatnya. Kafe dibilangan otista itu kian ramai menuju malam. Delisa menahan apa-apa yang menjadi bebannya selama ini. Masih saja dia berusaha kuat didepanku
"Gue tau sih ini tentang gue, Le. Bukan Soal Dimas atau cowok baru ini"
Dia meremas tanganku dan kali ini membiarkan air matanya keluar. Buru-buru kuambil tissue. Sial dikafe ini cuma tersedia tissue makan yang kaku.
Lalu malam ini kubiarkan saja ia menangis dahulu. Melepaskan semua yang selalu ia tahan.
Bahkan dulu saat bersama Dimas, bercerita seperti ini saja sulit. Dimas bukan saja merenggut delisa yang periang tapi juga merenggut Delisa, sahabatku. Ah, persetan dengan dia.
Yang penting sahabatku ini lepas dulu tangisnya.
Ditanya soal memulai hubungan baru, aku cuma punya pengalaman pindah-pindah kantor. Laki-laki yang dekat dengannya hanya Rayyan. Teman baik sedari kuliah yang sekarang entah sedang apa.
"Brrtt brrrrt"
Handphone Delisa berbunyi
Dimas.
"Ngapain dia telp kamu lagi, Del?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar